IKA-PMII (Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

Sebagai wadah, IKA PMII diharapkan benar-benar mewadahi seluruh potensi yang dimiliki oleh alumni PMII yang masih terserak diberbagai tempat dan berbagai penjuru.

Sufisme Di Belantara Hutan Modernitas

Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif.

NU Dalam Kisaran Politik Praktis

NU sebagai lembaga sosial keagamaan telah merumuskan bahwa diperlukan adanya akhlaqul karimah dalam berpolitik. Hal ini bertujuan agar supaya diatas semua tindakan politik, kebaikan moral tetap menjadi prioritas utama.

Agama Vis a Vis Tradisi

Dalam perkembangannya, agama menghadapai tradisi-tradisi lokal yang telah ada di Indonesia dan bagaimana mengkomunikasikannya sehingga dapat berkembang hingga sekarang tanpa ada pertentangan di dalamnya.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 13 Januari 2015

Agama Vis a Vis Tradisi

Agama Vis a Vis Tradisi
Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan untuk “aku” jadi “ana”, “sampean” jadi “antum”, “sedulur” jadi “akhi”,. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya tapi bukan budaya arabnya.
(K.H Abdurrahman Wahid)

Dapat dikatakan bahwa seluruh agama samawi (agama langit) yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah agama impor. Jika Islam adalah agama impor dari Arab yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, maka Kristen adalah agama impor dari Eropa yang dibawa oleh bangsa penjajah Belanda.

Dalam perkembangannya, agama-agama baru ini harus menghadapai tradisi-tradisi lokal yang telah ada di Indonesia dan bagaimana mengkomunikasikannya sehingga dapat berkembang hingga sekarang tanpa ada pertentangan di dalamnya. Islam sendiri tumbuh dan berkembang di Jawa dan Indonesia barat yang harus menghadapi tradisi-tradisi yang sudah ada, sehingga nampak dalam masjid-masjid di Pulau Jawa bukan beratab kubah bulat sebagaimana masjid di Timur Tengah, melainkan beratap genting dan bertingkat tiga yang menandakan syari’at, hakikat dan ma’rifat atau Islam, Iman dan Ikhsan.

Demikian juga kiranya yang terjadi dengan agama Kristen, misalnya terlihat dengan kemunculan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di tanah Batak,Gereja Kristen Pasundan (GKP) di tanah Pasundan dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur. Bahkan beberapa gereja di Kediri dan Jawa Tengah menggunakan bahasa Jawa dalam kebaktian setiap minggunya.

Namun memasuki tahun baru 2015 masih banyak menyisahkan masalah dalam kehidupan beragam di masyarakat khususnya mengenai pertarungan antara sesuatu yang dianggap sakral melawan yang profan. Atau dalam bahasa Ahmad Fawaid Sjadzili sakral itu lebih diwakili oleh agama sedangkan tradisi kultural adalah profan dan bagian dari bid’ah. Tradisi lokal patut dibersihkan dan digantikan dengan ajaran-ajaran agama sebagaimana hadir dari sumber yang pertama (baca:Islam Puritan).

Negoisasi-negoisasi yang penuh dengan sifat toleran dan nyaris tanpa ketegangan ini akhirnya mengalami pengerasan dengan munculnya desakan pemurnian atau purifikasi yang hendak menghadirkan Islam otentik sebagaimana era Nabi Muhammad SAW. Perdebatan mengenai polemik seputar otentitas nilai-nilai agama yang melebur dengan tradisi lokal menjadi debat sengit yang tidak berkesudahan. Tidak saja di masa lampau, bahkan hingga memasuki melinium ke-2 ini. Tudingan kelompok tertentu meleburkan ajaran klenik, takhayul, bid’ah dan khurafat dengan ajaran agama masih saja terus terjadi dan bergulir khususnya dalam pengajian-pengajian yang diadakan di masjid-masjid kampus umum. Mereka seringkali memperdebatkan adanya sholawatan, tahlilan, manaqiban dan jiaroh kubur (STMJ) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di era Nabi Muhammad SAW.

Mereka tidak sadar bahwa semenjak meninggalnya Nabi Muhammad SAW sudah tidak ada lagi yang dapat dijadikan satu-satunya sumber rujukan ketika terjadi permasalahan di masyarakat. Apalagi dengan perkembangan Islam yang semakin luas hingga menuju Asia Tengah dan Afrika di era Umar bin Khattab. Maka permasalahan umat Islam semakin beragam yang juga dipengaruhi letak geografis setiap daerah yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi Arab yang tandus dan gersang. Maka munculnya imam madzab sebagai salah satu solusi pemecahan masalah-masalah yang muncul dimasyarakat menjadi tidak terelakkan. Realitas ini berakibat berbedanya pendapat antara imam madzab yang satu dengan yang lain ini dalam memberikan fatwanya.

Salah satunya adalah yang terjadi di Indonesia, dimana negara Indonesia adalah negara agraris dan maritim yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan budaya yang tentunya akan sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di Arab.

Maka keberadaan Nahdlatul Ulama (baca: NU) yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 adalah  selain sebagai wadah perjuangan melawan penjajah Belanda juga sebagai pelindung budaya dengan cara alkulturasi bukan revolusi sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh kelompok-kelompok puritan.

Inilah yang menurut K.H Hasyim Muzadi menjadi keunikan NU. Menurut Beliau, diantara keunikan NU dibandingkan corak ke-Islaman lain ditanah air adalah cara NU menyikapi adat. NU tidak menolak adat dan tardisi lokal sepanjang cocok dengan tradisi Islam. Diktum klasik yang begitu lekat dikalangan nahdliyin adalah merawat tradisi lama yang baik dan mengadaptasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah alal qadimis sholih wal akhdu bil jadidil aslah).

Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat yang disampaikan oleh K.H Ahmad Shiddiq yang mana menurut beliau, Islam tidak serta merta apriori menolak tradisi lama, juga tidak menentang apalagi menghapuskan sama sekali. Hal ini disebabkan jika Islam adalah ajaran yang kaku, tentunya Islam tidak dapat berkembang sampai seperti saat ini. Tentunya Islam akan menjadi agama yang kolot dan radikal karena segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam asli harus tertolak. Padahal dalam sejarahnya Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW juga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal seperti sunnah makan kurma, potong kambing atau onta sebagai qurban, bahkan mencium hajar aswat itu juga merupakan tradisi turun temurun.

Penulis : Iwan Satriawan, SH, MH
Alumni PMII Rayon Hukum Angkatan 2000
Dosen UNILA & Pengurus LTNU Provinsi Lampung

Prof. Arief Hidayat Terpilih Menjadi Ketua MK 2015-2017

Nahkoda Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya berganti nahkoda. Profesor Arief Hidayat terpilih menjadi Ketua MK periode 2015-2017 secara aklamasi. Sedangkan, Anwar Usman terpilih sebagai Wakil Ketua melalui pemungutan suara dengan empat putaran. Keduanya, bertekad akan terus-menerus berupaya meningkatkan kualitas putusan MK agar bisa dilaksanakan sebaik-baiknya oleh seluruh penyelenggara negara dan masyarakat.

“Selain tetap menjaga marwah MK, kita akan terus meningkatkan kualitas putusan-putusan MK yang memenuhi rasa keadilan masyarakat, memberikan kepastian hukum, dan bermanfaat untuk pembangunan Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur,” ujar Arief usai rapat pleno khusus pemilihan pimpinan MK di ruang sidang pleno MK, Senin (12/1).

Arief terpilih menjadi ketua MK menggantikan Hamdan Zoelva yang telah mengakhiri masa tugasnya pada 7 Januari 2015 kemarin. Sebelumnya, Arief menjabat Wakil Ketua MK sejak 1 November 2013. Kala itu, Arief baru beberapa bulan diangkat menjadi hakim konstitusi melalui jalur usulan DPR menggantikan Mahfud MD. 

Terlahir di Semarang pada 3 Maret 1956, masa sekolah hingga perguruan tinggi Arief habiskan di kota kelahirannya itu. Mengawali kariernya, Arief begitu tamat kuliah langsung menjadi dosen di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Pendidikan master hukumnya diraih di Universitas Airlangga pada 1984. Pada 2006, dia meraih gelar doktor hukum pada 2006. 

Selain itu, dia tercatat sebagai Dosen Luar Biasa pada Fakultas Hukum Program S-2 dan S-3 di berbagai PTN/PTS di Indonesia. Praktis, sebelum terpilih sebagai hakim konstitusi pada Maret 2013 itu, Arief lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar dan mengajar hingga akhirnya dia dipercaya menjadi Dekan Fakultas Hukum dan Guru Besar Universitas Diponegoro pada tahun 2008.

Pria yang dikenal tegas dan santai saat memimpin sidang ini sebelumnya beberapa kali menjadi ahli dalam sidang pengujian undang-undang dari pihak pemerintah. Diantaranya, dia pernah menjadi ahli saat pengujian UU Kementerian Negara terkait konsitusionaitas jabatan wakil menteri dan sengketa kewenangan antar lembaga dalam kasus Divestasi Saham Newmont Nusa Tenggara.
 
Sementara Anwar Usman diangkat sebagai hakim MK sejak 6 April 2011 atas usulan MA. Dia menggantikan Aryad Sanusi yang mengundurkan diri pada 11 Februari 2011. Anwar lahir di Desa Rasabou, Bima pada 31 Desember 1956. Anwar memulai kariernya menjadi guru honorer pada SD Kalibaru di Jakarta selepas lulus dari Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) pada 1975.  

Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya S-1-nya di Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada 1984. Setahun kemudian, diterima menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Bogor pada 1985. Lalu, gelar magisternya diraih STIH Iblam  (2001) dan gelar doktornya diraih dari FH Universitas Gajah Mada (2010).

“Menjadi hakim, sebenarnya bukanlah  cita-cita saya. Namun, ketika Allah menginginkan, dimanapun saya dipercaya atau diamanahkan dalam suatu jabatan apapun, bagi saya itu menjadi lahan untuk beribadah. Insya Allah saya akan memegang dan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya,” kata pria berjenggot lebat tersebut.

Setelah malang-melintang menjadi hakim, pada 2005 diangkat menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai Kepala Biro Kepegawaian MA. Tak berselang lama, dia dipercaya menjadi Kepala Badan Diklatkumdil MA pada periode 2006-2011 sebelumnya akhirnya dia diangkat menjadi hakim konstitusi pada April 2011.

Senin, 12 Januari 2015

MK Gelar Pemilihan Ketua MK

MK Gelar Pemilihan Ketua MK
Seiring berakhirnya jabatan Hamdan Zoelva sebagai hakim konstitusi sekaligus ketua MK (Mahkamah Konstitusi), MK menggelar pemilihan ketua MK periode 2015-2017 yang dijadwalkan hari ini, Senin (12/1). "Pemilihan ketua MK untuk periode 2015-2017 dimulai pukul 10.00 WIB, Senin (12/1)," demikian informasi dari Humas MK, Minggu (11/1) kemarin.

Sesuai UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK, masa jabatan hakim ketua MK selama 2,5 then dan dapat dipilih kembali untuk 2,5 tahun berikutnya. Setiap hakim konstitusi berhak memilih dan dipilih sebagai ketua MK melalui mekanisme musyawarah secara tertutup.

Jika tidak tercapai kata mufakat, pemilihan ketua atau wakil ketua MK akan dilakukan dengan cara voting (pemungutan suara). Jika dalam pemungutan suara putaran pertama salah satu kandidat belum memperoleh 50 persen suara plus satu, maka akan dilakukan pemungutan putaran kedua.

Pemilihan ketua MK ini dilakukan sembilan hakim konstitusi yakni Arief Hidayat (wakil ketua MK), Muhammad Alim, Anwar Usman, Maria Farida Indrati, Aswanto, Wahiduddin Adams, Patrialis Akbar, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo.

Mohammad Zamroni ; Sosok Penggagas Independensi PMII

Mohammad Zamroni ; Sosok Penggagas Independensi PMII
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dalam perjalanannya sudah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional dan cukup mewarnai dalam dinamika perpolitikan yang terjadi di Indonesia dengan visi perubahan bangsa, Mahbub Junaidi, Muhammad Zamroni, Surya Dharma Ali, Muhaimin Iskandar, Nusron Wahid, Malik Haramain dll. nama-nama tersbut adalah sebagian tokoh yang pernah merasakan dinamika organisasi yang bernama PMII, tapi dari sekian banyak tokoh yang dilahirkan oleh PMII masih ada yang dilupakan oleh kader-kader PMII sendiri yang semestinya harus dijadikan spirit dalam membangun PMII yang lebih bermartabat bagi kader PMII maupun bagi organisasi.

Muhammad Zamroni, Lahir di Kudus/Jepara Jawa Tengah Tanggal 10 Agustus 1935. Riwayat Pendidikan: SD Muhammadiyah Kudus (1948), SMP Negeri Kudus (1951), SGHA Yogjakarta (1955), IAIN Jurusan Pendidikan, Jakarta (1969), Pesantren Bale Tengahan Kudus, Pesantren Jamsaren Solo, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah di Kudus dan Solo. Karir: Guru Ilmu Pasti , Agama dan Olah Raga PGAN Magelang (1955-1958) Asisten Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat Jakarta (1963-1965), Penata Madya Pegawai Departemen Agama (1965-1967), Ketua Umum PP PMII dua periode yaitu periode 1967-1970), hasil kongres PMII III di Malang Jawa Timur.

Disadari atau tidak, terjadinya aksi besar-besaran pada tahun 1966 yang mengatasnamakan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) adalah buah keringatnya Sahabat Zamroni bersama mahasiswa-mahasiswa yang tersebar di Indonesia dan sahabat Zamroni dipilih sebagai Ketua Presidium KAMI Pusat (Mulai pertama dibentuk sampai bubar), KAMI adalah motor gerakan mahasiswa angkatan 66 yang bertujuan untuk merobohkan rezim orde lama (orla), yang pada saat itu Ir. Soekarno sebagai presiden yang memakai sistem terpimpin.

Sahabat Zamroni, dialah tokoh Idola yang mampu menjadi “inspirator gerakan” Mahasiswa dan Pemuda di seluruh Nusantara. Dialah tokoh yang berani berdemonstrasi dan berdebat berhadap-hadapan secara langsung dengan Presiden Soekarno. Dialah satu-satunya tokoh PMII yang terpilih tanpa kehadiran yang bersangkutan di arena Kongres, karena pada saat itu dia masih berada di Tokyo Jepang, dalam rangka operasi jari tangan kanan akibat kecalakaan mobil sewaktu konsolidasi KAMI ke daerah Serang. Kemudian Periode 1970-1973, hasil Kongres IV PMII di Makasar Ujungpandang, Sulawesi Selatan.

Pada masa kepemimpinan sahabat Zamroni yang ke dua inilah PMII menyatakan diri “Independen”, (di cetuskan di MUBES II di Murnajati Lawang Malang 1972). Dialah Penggagas Independensi PMII. Pada masa kepemimpinan sahabat Zamroni inilah PMII berkembang sangat pesat terutama jika dilihat dari segi banyaknya Cabang-cabang yang ada, tidak kurang dari 120 cabang yang hidup diseluruh Indonesia. Suatu prestasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat sulit terulang kembali hingga sekarang ini.

Drs. HM. Zamroni bin Sarkowi, Berpulang ke Rahmatullah pada dini hari pukul 03.00 WIB, Hari Senen Tanggal 5 Februari 1996, di RS Fatmawati Jakarta Selatan karena sakit sesak pernafasan dan stroke yang diderita sejak lama. Meninggalkan seorang Isteri, 3 (tiga) orang putra-putri dan 4 (empat) orang cucu. Dimakamkan di Pemakaman Khusus Tanah Kusir Jakarta. (PB.PMII/Wikipedia)

Minggu, 11 Januari 2015

NU Dalam Kisaran Politik Praktis

NU  Dalam Kisaran Politik Praktis
NU  DALAM KISARAN POLITIK PRAKTIS
Oleh: M.Iwan Satriawan*

“Nahdlatul Ulama adalah ibarat kereta api yang sejak semula sudah jelas trayeknya, bahkan relnya dan persyaratan untuk menjadi petugas-petugasnya. NU bukan taksi yang dapat dibawa kemana saja oleh penyewanya. Orang-orang yang mengurus dan memimpin NU boleh saja berganti-ganti.Kebijaksanaan mengemudikannya boleh diubah dan disempurnakan, tetapi trayek tidak boleh diubah”
(K.H Achmad Siddiq)

Berbicara mengenai hubungan antara NU dan politik maka setidaknya kita harus melihat sejarah pendirian NU terlebih dahulu. NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 dimasa penjajahan Belanda sebagai jawaban atas merebaknya kegiatan kaum Islam modernis yang mencoba menggusur eksistensi kaum Islam tradisionalis. Selain itu berdirinya NU adalah sebagai salah satu bentuk kegiatan  untuk menciptakan semangat nasionalisme demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam pandangan NU, kehidupan umat akan lebih baik jika bangsa Indonesia dapat terlepas dari cengkeraman penjajahan. Itulah sebabnya meskipun ditahun-tahun awal berdirinya NU, namun jami’ah NU adalah bagian yang tidak terlepaskan dari para pejuang tanah air yang mencita-citakan pembebasan tanah airnya dari belenggu kolonialisme.

Dalam perkembangannya eksistensi NU dalam mengisi kemerdekaan tidak hanya selesaibegitu proklamasi kemerdekaan dibacakan namun  lebih dari itu, keberadaan NU dalam percaturan politik tanah air semamakin mendapatkan ruangnya. Bahkan pada akhirnya NU secara resmi terjun kedunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada tahun 1955.
Namun seiring dengan perubahan dari orde lama menju orde baru, eksistensi NU di dunia politik semakin tergerus sehingga pada puncaknya munculah deklarasi kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Arti penting khittah ini adalah bahwa NU secara kelembagaan menyatakan dirinya sebagai lembaga sosial keagamaan bukan lembaga politik sesuai dengan ruh awal pendirian NU akan tetapi bagi warga NU secara individu yang ingin terjun kedunia politik diperbolehkan dan tidak dihalang-halangi.

NU dan Partai Politik
Seiring dengan bergulirnya reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto, lagi-lagi warga NU terusik kembali insting politiknya untuk mendirikan partai politik dengan tujuan agar suara warga NU yang terdiri dari lebih kurang 40 juta ini dapat diakomodir oleh partai yang didirikan oleh NU bukan justru dijadikan kuda tunggangan oleh partai-partai lain yang notebene begitu selesai pemilu komunitas NU ditinggal yang nantinya begitu mendekati pemilu akan didekati lagi. Dan kejadian ini telah menjadi kenyataan selama berlangsunya pemilu di era orde baru.

Maka arus deras demokrasi ini rupanya ditangkap juga oleh beberapa ulama NU yang tersebar diseluruh Indonesia. Dorongan yang semakin kuat dari daerah menyebabkan beberapa ulama khos (khusus) NU dengan dimotori oleh K.H Abdurrahman Wahid berinisiatif membentuk partai politik sebagai wadah aspirasi kaum Nahdiyin yang tidak dapat diakomodir oleh partai-partai di era orde baru.

PKB dibentuk pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta atau tepatnya dirumah K.H Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Maka tidak mengherankan antara PKB dan NU tidak dapat dilepaskan begitu saja meskipun dengan berbagai cara atau strategi untuk memisahkannya dengan menyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan sedangkan PKB adalah organisasi politik yang terbuka untuk semua golongan. Namun pada hakikatnya banyak rekrutmen politik PKB yang mengandalkan pengaruh NU sebagai senjata utamanya.

      Jika berkaca pada prinsip-prinsip berpolitik yang telah dirumuskan oleh NU adalah sebagai berikut: (1) berpaham kebangsaan bukan golongan maupun keagamaan an sich hal ini disebabkan Indonesia bukan milik agama Islam saja, melainkan ada agama-agama lai yang telah tumbuh dan berkembang di tanah air yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya;(2) mengacu kepada kaidah fiqih yang berbunyi“tasaraful imam ala arru’iyah manutun bil maslahah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus sesuai dengan kemanfaatan atas orang banyak).”Hal ini berhubungan dengan politik itu sendiri yang berarti bagaimana perebutan dan memepertahankan kekuasaan melalui sebuah kebijakn, maka hendaknya kebijakan yang telah dibuat harus sesuai dengan kemanfaatan rakyat bukan golongan;(3) ada trem dalam politik yang telah menjadi kesepakatan para aktor politik yaitu tidak ada kawan sejati yang ada adalah kepentingan sejati, maka NU sebagai lembaga sosial keagamaan telah merumuskan bahwa diperlukan adanya akhlaqul karimah dalam berpolitik. Hal ini bertujuan agar supaya diatas semua tindakan politik, kebaikan moral tetap menjadi prioritas utama.
 
          Maka diakhir tulisan ini hendaknya  penting bagi kita  menyimak  pesan almarhum K.H Sahal Mahfud, beliau pernah menyatakan bahwa  "NU itu bukan organisasi politik. Karena itu NU jangan bermain politik di politik tingkat bawah. Karena Itu bukan tempatnya NU. Kalau NU mau berpolitik, harusnya di politik tingkat atas,"politik tingkat bawah yaitu politik pada umumnya. Yaitu mencari kekuasaan dan saling dukung mendukung. Sedangkan politik tingkat atas yaitu politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika politik”.
 
 
*Penulis:
- Alumni Rayon Hukum UNEJ Angkatan 2000
- Dosen HTN UNILA dan Pengurus LTNU Provinsi Lampung
 

Sabtu, 10 Januari 2015

Sufisme Di Belantara Hutan Modernitas

Sufisme Di Belantara Hutan Modernitas
Manusia sebagai hamba Allah adalah satu-satunya makhluk yang paling istimewa di antara semua makhlukNya yang lain. Di samping dikaruniai akal dan pikiran, manusia ternyata adalah makhluk yang penuh misteri dan rahasia-rahasia yang menarik untuk dikaji. Misteri ini justru sengaja dibuat Allah agar manusia memiliki rasa antusias yang tinggi untuk menguak dan mendalami keberadaan dirinya sebagai ciptaan Allah, untuk kemudian mengenali siapa penciptanya.
Syekh Ahmad bin Ruslan al-Syafi'i mengemukakan, "Sesuatu yang paling awal diwajibkan atas manusia adalah ma'rifatullah dengan keyakinan". Bahwa sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa tidak mesti mengenal terlebih dulu siapa yang berhak disembah, untuk kemudian segala proses dan komponen ibadah kepadaNya tercerminkan di bawah ma'rifatullah. Sebab, ibadah seseorang baik ibadah wajib ataupun sunnah, tidak akan mungkin sah tanpa ma'rifatullah.

Di balik itu, tujuan utama seorang yang berakal adalah bertemu dengan Allah di hari pembalasan nanti, seperti diungkapkan al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin.

Dengan demikian ada dua hal yang menjadi agenda manusia di hadapan Tuhannya. Ketika seseorang pertama kali ingin memasuki "daerah" Allah, maka ia diwajibkan ma'rifatullah terlebih dahulu. Dan ketika seorang telah mencapai titik final perjalanannya, maka satu-satunya hal yang patut dicita-citakan dan diharapkan adalah hanya liqaullah (bertemu dengan Allah). Rentang antara liqaullah dan ma'rifatullah inilah yang kemudian melahirkan banyak tuntutan dan konsekuensi sekaligus keterkaitan erat dari dan oleh manusia sendiri.

***

Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 57, "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat (mau'idhah) dari Tuhanmu dan penyembuh/obat bagi penyakit-penyakit yang berada dalam dada (syifa'uh lima fi al-shudur) dan petunjuk (wa hudan) serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (wa rahmatan li al-mu'minin)".

Ayat ini dalam tafsir Ruhul Ma'ani diinterpretasikan sebagai jenjang-jenjang kesempurnaan pada jiwa manusia. Barangsiapa yang berpegang teguh dengan al-Qur'an -sebagai mau'idhah- secara utuh dan tidak parsial, maka ia akan memperoleh seluruh tingkatan kesempurnaan tersebut.

Lebih jauh lagi, Imam Junaedi menafsirkan ayat tersebut sebagai landasan filosofis munculnya klasifikasi syaritat, thariqat, haqiqat dan ma'rifat. Dari kalimat mau'idhah yang mengandung nasihat-nasihat untuk meninggalkan segala hal yang dilarang dan menjalankan perintah-perintah Allah, maka lahirlah syari'at yang kemudian berisi pula anjuran-anjuran untuk membersihkan akhlaq al-mazmumah (perilaku tidak baik) yang dapat dilihat orang lain.

Sedangkan kalimat "syifa'un lima fii al-shudur" memuat segala bentuk usaha penyembuhan penyakit-penyakit ruhani sehingga seorang manusia dapat mencapai strata kesempurnaan dalam pembersihan hatinya dari akidah-akidah yang sesat dan tabiat-tabiat yang hina dan tercela. Ini merupakan filosofi munculnya klasifikasi thariqat. Sementara kalimat "wa hudan " mengisyaratkan kesempurnnan yang lebih tinggi lagi, yakni strata haqiqat yang hanya mungkin dicapai oleh manusia lewat hidayah yang diberikan Allah.

Tingkatan ini menggambarkan adanya keadaan jiwa manusia yang telah terhiasi oleh akidah dan akhlak yang baik dan mulia, sehingga seseorang dapat meraih "dhuhur al-haq fi qulubi al-shiddiqin", yakni terlihatnya Allah yang Maha Haq di dalam hati para shiddiqin (orang-orang yang tingkat keimanannya setaraf dengan Abu Bakar Shiddiq). Adapun kalimat "wa rahmatan li al-mu'minin" memberi dalil akan tercapainya kesempurnaan yang paling tinggi yaitu ma'rifat, bahwa seseorang telah meraih "tajalla anwar al-uluhiyah" (terpancarnya cahaya ketuhanan) yang abadi. Dengan "al-anw'ar al-uluhiyah" ini seseorang dapat memiliki pengaruh positif terhadap mu'min lainnya.

Berkenaan dengan hal tersebut, Abu Bakar al-Makky punya pendapat yang intinya, bahwa jalan menuju kebahagiaan akhirat adalah terpenuhinya ketiga hal syari'at, thariqat dan haqiqat. Ketiga hal ini tidak boleh terlewatkan salah satunya, akan tetapi haruslah lengkap dan berurutan satu sama lain. Sebab Abu Bakar menggambarkan ketiga hal itu dengan pendapatnya yang lain:

''Syari'at itu seperti sebuah perahu, sedangkan thariqat adalah lautan, sementara haqiqat adalah mutiara yang terendam di dasar laut".

Adapun tasawuf (sufisme) oleh banyak ulama masih diperdebatkan definisinya dengan seribu pendapat. Salah satu definisi tersebut adalah seperti yang dikemukakan Abu Zakariya al-Anshari:

"Suatu sikap memurnikan hati di hadapan Allah dan memandang remeh atau rendah terhadap selain Allah".

Sehingga dengan definisi ini dapat diambil pengertian, tasawuf adalah refleksi perasaan ketuhanan yang sangat tinggi, agung dan suci terhadap segala pelaksannan ketiga (atau keempat) hal di atas.

***

Abad XXI sering dilukiskan sebagai suatu masa yang berperadaban tinggi. Orang tak lagi membicarakan atau merisaukan hal-hal yang masih bersifat permulaan atau masih mentah. Kecenderungan-kocenderungan yang ada hanyalah dominasi sikap ingin serba praktis, mengenakkan dan lebih mudah. Hal ini jelas tersiasati dari hasil-hasil produksi teknologi mutakhir yang mampu membikin manusia sebagai makhluk "serba manja".

Bersamaan dengan itu, persaingan masalah-masalah sosial dan pelaku-pelaku sosial itu sendiri, muncul sebagai efek lain dari modernitas zaman. Gesekan demi gesekan yang timbul dari berjalannya kepentingan masing-masing individu tanpa diimbangi dengan nilai-nilai spiritual, akan meninggalkan keresahan-keresahan tersendiri. Pola-pola perilaku dan sikap hidup serta pandangan yang individualistis akan menempatkan manusia pada titik-titik jenuh kehidupan komunitas kolektif, sehingga pada gilirannya manusia justru acuh tak acuh terhadap lingkungannya sendiri.

Titik-titik jenuh itulah yang kemudian membuat orang cenderung lari mencari. "dunia lain" yang lebih menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Maka agama pun agaknya menjadi alternatif paling tepat untuk mengubah keresahan tersebut, meskipun demikian hal itu tidak bisa dipahami sebagai suatu justifikasi tentang adanya asumsi bahwa agama adalah kompensasi kejenuhan-kejenuhan modernitas zaman.

Komponen sufisme seperti zuhud, khalwah dan 'uzlah ternyata dalam banyak kasus di belantara zaman modern ini, masih saja tidak kehilangan relevansinya sama sekali. Zuhud oleh para ulama didefinisikan sebagai sikap meninggalkan ketergantungan hati pada harta benda (materi), meskipun tidak berarti antipati terhadapnya. Seorancg zahid bisa saja mempunyai kekayaan yang berlimpah, akan tetapi tidak kumanthil di dalam hati.

Begitu juga 'uzlah yang oleh Abu Bakar didefinisikan sebagai, "al-tafarrud 'an al-khalq" (memisahkan diri dari makhluk lain). Sikap ini terhitung sangat dianjurkan untuk diamalkan, ketika zaman dilanda pergeseran nilai-nilai Islam dan segala aturan normatifnya. Ketika seseorang khawatir terhadap fitnah yang akan menyebabkan kehidupan keagamannnya berkurang intensitasnya, 'uzlah adalah salah satu sikap yang dapat menjawab tantangan itu.

Akan tetapi, apabila segala kekhawatiran tersebut tidak terlalu memprihatinkan, zuhud justru dipraktikkan dengan berkumpul dan bermasyarakat sebagaimana lazimnya, untuk `amar ma'ruf nahi munkar. Lebih jauh lagi, para ulama sepakat, zuhud atau 'uzlah dapat dilaksanakan hanya sekadar dengan hati dan perasaan, sehingga meskipun seseorang -misalnya- sedang berada di tengah keramaian sebuah pasar, akan tetapi dalam hatinya ia merasa menyendiri untuk mencari Tuhannya.

***

SUFISME memandang dunia ini sebagai sebuah jembatan yang harus dilalui untuk menuju akhirat. Dalam ajaran sufisme ditemui adanya anjuran-anjuran untuk mempertinggi etos kerja. Seseorang yang mendalami tasawuf juga diperintahkan untuk bekerja mencari penghasilan bagi kehidupan sehari-harinya. Seseorang sama sekali tidak diperkenankan berpasrah diri dan tawakal kepada Allah SWT, sembari rajin mengerjakan shalat sunnah dan banyak berzikir, sebelum ia memenubi kewajiban-kewajibannya sebagai -misalnya- seorang kepala rumah tangga, mencari nafkah.

Akan tetapi kaum sufi lebih memandang dunia laksana api di mana mereka dapat memanfaatkan sebatas kebutuhan, sembari tetap waspada akan bahaya percikan bunga api yang suatu saat akan membakar hangus semuanya. Dalam hal ini mereka berkata:

"Apabila harta benda dikumpulkan, maka haruslah untuk memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi, dan bukan untuk kepentingan pribadi secara berlebihan".

Lebih jauh, Syekh Abdul Qadir Jaelani berkata: "Semua harta benda dunia adalah battu ujian yang membuat banyak manusia gagal dan celaka, sehingga membuat mereka lupa terhadap Allah, kecuali jika pengumpulannya dengan niat yang baik untuk akherat. Maka bila dalam pentasharufannya telah memiliki tujuan yang baik, harta dunia iu pun akan menjadi harta akherat."

Dengan demikian, sufisme serta segala komponen ajarannya merupakan pengendali moral manusia. Keseluruhan konsep yang ditawarkan sufisme seperti zuhud akan dapat mengurangi kecenderungan pola hidup konsumtifisme dan individualisme yang semakin menggejala di tengah dunia modern. Sufisme dan Islam pada skala yang lebih luas, adalah bentuk tata aturan normatif yang menjanjikan kedamaian dan ketenteraman. Sehingga ketika zaman menghadirkan keresahan-keresahan, seseorang dapat saja menjadikan sufisme atau tasawuf sebagai kompensasi positif. Yang jelas, sufisme adalah suatu ajaran yang lebih banyak berimplikasi langsung dengan hati, jiwa dan perasaan, sehingga ia bukan hadir sebagai trend, mode dan semacamnya.


*) Diambil dari KH MA Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, 2004 (Yogyakarta: LKiS)

IKA-PMII (Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

IKA-PMII (Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)

IKA-PMII adalah Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Sebagai wadah berhimpunnya alumni PMII yang secara kultural dan historis kelahirannya mempunyai ikatan kuat dengan Nahdlatul Ulama (NU), IKA-PMII diharapkan terus meningkatkan perannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi terwujudnya Indonesia yang sejahtera, maju dan mandiri, demokrastis dan berkeadilan.
  • Wajah Baru Alumni PMII
Meski tidak semarak dan gegap gempita, Musyawarah Nasional (Munas) Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (FOKSIKA PMII) di Jakarta (24/5/2008), telah melahirkan sejarah penting bagi arah perjalanan organisasi alumni PMII. Semua kader PMII tentu berharap, sejarah ini akan menjadi titik tolak bagi organisasi wadah alumni yang selama ini dianggap Wujudihi Ka Adamihi (adanya sama saja dengan tidak adanya).

Munas telah menyepakati nama FOKSIKA diubah menjadi Ikatan Keluarga Alumni PMII (IKA PMII). Terlepas dari pertimbangan pemilihan kosa kata dan pencarian nama yang lebih pantas dan enak untuk didengar, perubahan nama wadah alumni menjadi IKA PMII bisa dimaknai sebagai manifestasi dari semangat baru, keinginan baru dan harapan baru untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dalam sebuah dinamika organisasi yang layak untuk terus menurus didorong. Anggaplah kondisi Wujudihi Ka Adamihi merupakan krisis bagi organisasi wadah alumni saat ini, maka sudah saatnya untuk direnungkan sebuah pepatah yang mengatakan the crisis is good way to change.

Momentum ini perlu segera direspon dan dijadikan sebagai tonggak sejarah baru bagi alumni dan kader yang masih aktif di organisasi PMII dimanapun berada. Agar spirit perubahan untuk menjadikan organisasi alumni PMII lebih baik dimasa-masa yang akan datang, tidak menguap dan hilang begitu saja ditelan bumi. Yang terpenting lagi, bagaimana gagasan dan semangat perubahan tersebut dapat direalisasikan dan dirasakan pengaruh positifnya bagi pengembangan organisasi PMII dan bagi para alumni pada khususnya.
  • Oasis Kader Alumni PMII
Kalau kita lihat dalam Kamus Bahasa Inggris, mempunyai dua arti; Pertama wadah dan Kedua sumber ketenangan. Kata oasis cukup mewakili untuk menggambarkan harapan dan cita-cita yang ingin diwujudkan dalam perubahan bagi wadah alumni PMII kedepan. Sebagai wadah, IKA PMII diharapkan benar-benar mewadahi seluruh potensi yang dimiliki oleh alumni PMII yang masih terserak diberbagai tempat dan berbagai penjuru.

Mewadahi bukan berarti harus menjadikannya sebagai pengurus dan bukan pula mewadahi potensi alumni PMII tersebut dalam satu tempat. Tetapi, lebih pada bagaimana potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh kader yang sudah menjadi alumni bisa diberdayakan dan dimanfaatkan bagi kemajuan organisasi dan kepentingan PMII secara umum. Ini berarti, mewadahi adalah mencipatakan wadah-wadah baru dan mengaktualisasikan kembali wadah-wadah yang sudah ada atau kalau perlu merebut wadah-wadah yang belum kita duduki. Yang perlu digaris bawahi, baik mengaktualialisasikan wadah, merebut wadah ataupun menciptakan wadah baru harus menghasilkan energi perubahan. Karena perubahan ini merupakan titik tolak untuk melakukan perbaikan. Sebagaimana teori atom, reaksi fusi (bersatunya atom) akan menghasilkan energi dan reaksi fisi (pemisahan atom) akan mengeluarkan energi. Energi itu adalah energi perubahan.

Dalam sambutannya sebagai Ketua IKA PMII saat penutupan Munas, Sahabat Arif Mudatsir Mandan memaparkan, bahwa sepuluh tahun yang lalu masih sulit dijumpai alumni PMII yang menjadi anggota DPR/DPRD dan pejabat pengambil kebijakan strategis lainnya. Paling banter saat itu, alumni PMII yang hanya menjadi dosen, itupun tidak menduduki posisi penting dijajaran Civitas Akademika. Kalaupun ada, masih terbatas di kampus-kampus Agama Islam seperti IAIN dan STAIN. Berbeda dengan kondisi sekarang, banyak dijumpai alumni PMII menjadi anggota DPR/DPRD, KPU/KPUD, pimpinan eksekutif mulai dari pusat sampai daerah, bahkan ada yang pernah menjadi Wakil Presiden.

Kondisi ini perlu disyukuri dan diberikan apresiasi yang layak untuk sebuah hasil dari proses pengkaderan dan perjuangan. Meskipun pertanyaannya adalah apakah mereka semua menduduki jabatan atau posisi tersebut karena PMII atau bukan. Namun yang terpenting, mereka pernah berproses di PMII dan itu berarti pernah mendapatkan sesuatu dari PMII. Entah itu kecewa, sakit hati, merasa disudutkan atau barangkali mendapatkan pengetahuan yang kemudian merasa bangga dengan PMII. Yang jelas, akumulasi dari proses interaksi yang pernah dilakoni selama aktif di PMII berkontribusi dalam membentuk diri dan kediriannya.

Ini adalah modal awal yang sudah dimiliki oleh IKA PMII, tinggal bagaimana menjadikan organisasi alumni PMII ini benar-benar menjadi oasis dalam pengertian wadah tadi. Apakah menggunakan pendekatan teori reaksi fusi, fisi atau kombinasi dari keduanya. Keadaan organisasi alumni PMII saat ini masih dihinggapi oleh banyak kendala yang perlu segera dipecahkan kalau mau menjadikan IKA PMII sebagai Oasis bagi Alumni. Pertama; Data tentang jumlah alumni berapa, Dimana saja, Profesinya apa dan lain sebagainya. Pendek kata, persoalan data alumni ini sangat mendesak kalau IKA PMII mau melakukan perubahan. Bagaimana mungkin organisasi ini akan bergerak dan membuat program kalau anggotanya saja dia tidak tahu. Kedua; Sistem komunikasi dan Jaringan yang efektif bagi alumni. Sampai saat ini, pola komunikasi para alumni PMII masih bersifat individual dan konvensional. Kondisi ini sama sekali sudah tidak bisa dipertahankan kembali dimasa yang akan datang. Namun sekali lagi, sistem komunikasi dan jaringan ini tidak dapat terbangun salah satunya karena tidak adanya data alumni tadi. Ketiga; Infrastrktur dan Suprastruktur organiasasi alumni yang belum terbangun sampai daerah-daerah. Inilah pra sayarat yang harus diselesaikan terlebih dahulu kalau mau melakukan perubahan di IKA PMII.

Kalau persoalan dasar ini sudah dapat diselesaikan, maka baru akan kita songsong perubahan untuk melihat dan menjadikan organisasi wadah alumni PMII benar-benar menjadi Oasis dalam arti yang kedua, yakni sebagai Sumber Ketenangan. Menjadi sumber ketenangan karena keberadaan IKA PMII tidak lagi Ka Adamihi, tetapi benar-benar dirasakan oleh kader dan alumni PMII diseluruh Indonesia. Pengkaderan di PMII sejatinya adalah pengkaderan seumur hidup (long live education), pada tingkat yang lebih mendalam sesungguhnya tidak ada kader dan alumni. Semua masih dalam proses pengakaderan untuk menuju tahapan yang menjadi tujuan PMII. Yaitu, terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.