Minggu, 11 Januari 2015

NU Dalam Kisaran Politik Praktis

NU  Dalam Kisaran Politik Praktis
NU  DALAM KISARAN POLITIK PRAKTIS
Oleh: M.Iwan Satriawan*

“Nahdlatul Ulama adalah ibarat kereta api yang sejak semula sudah jelas trayeknya, bahkan relnya dan persyaratan untuk menjadi petugas-petugasnya. NU bukan taksi yang dapat dibawa kemana saja oleh penyewanya. Orang-orang yang mengurus dan memimpin NU boleh saja berganti-ganti.Kebijaksanaan mengemudikannya boleh diubah dan disempurnakan, tetapi trayek tidak boleh diubah”
(K.H Achmad Siddiq)

Berbicara mengenai hubungan antara NU dan politik maka setidaknya kita harus melihat sejarah pendirian NU terlebih dahulu. NU berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 dimasa penjajahan Belanda sebagai jawaban atas merebaknya kegiatan kaum Islam modernis yang mencoba menggusur eksistensi kaum Islam tradisionalis. Selain itu berdirinya NU adalah sebagai salah satu bentuk kegiatan  untuk menciptakan semangat nasionalisme demi mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Dalam pandangan NU, kehidupan umat akan lebih baik jika bangsa Indonesia dapat terlepas dari cengkeraman penjajahan. Itulah sebabnya meskipun ditahun-tahun awal berdirinya NU, namun jami’ah NU adalah bagian yang tidak terlepaskan dari para pejuang tanah air yang mencita-citakan pembebasan tanah airnya dari belenggu kolonialisme.

Dalam perkembangannya eksistensi NU dalam mengisi kemerdekaan tidak hanya selesaibegitu proklamasi kemerdekaan dibacakan namun  lebih dari itu, keberadaan NU dalam percaturan politik tanah air semamakin mendapatkan ruangnya. Bahkan pada akhirnya NU secara resmi terjun kedunia politik praktis dengan menjadi partai politik pada tahun 1955.
Namun seiring dengan perubahan dari orde lama menju orde baru, eksistensi NU di dunia politik semakin tergerus sehingga pada puncaknya munculah deklarasi kembali ke khittah 1926 pada Muktamar NU tahun 1984 di Situbondo Jawa Timur. Arti penting khittah ini adalah bahwa NU secara kelembagaan menyatakan dirinya sebagai lembaga sosial keagamaan bukan lembaga politik sesuai dengan ruh awal pendirian NU akan tetapi bagi warga NU secara individu yang ingin terjun kedunia politik diperbolehkan dan tidak dihalang-halangi.

NU dan Partai Politik
Seiring dengan bergulirnya reformasi yang ditandai dengan jatuhnya Soeharto, lagi-lagi warga NU terusik kembali insting politiknya untuk mendirikan partai politik dengan tujuan agar suara warga NU yang terdiri dari lebih kurang 40 juta ini dapat diakomodir oleh partai yang didirikan oleh NU bukan justru dijadikan kuda tunggangan oleh partai-partai lain yang notebene begitu selesai pemilu komunitas NU ditinggal yang nantinya begitu mendekati pemilu akan didekati lagi. Dan kejadian ini telah menjadi kenyataan selama berlangsunya pemilu di era orde baru.

Maka arus deras demokrasi ini rupanya ditangkap juga oleh beberapa ulama NU yang tersebar diseluruh Indonesia. Dorongan yang semakin kuat dari daerah menyebabkan beberapa ulama khos (khusus) NU dengan dimotori oleh K.H Abdurrahman Wahid berinisiatif membentuk partai politik sebagai wadah aspirasi kaum Nahdiyin yang tidak dapat diakomodir oleh partai-partai di era orde baru.

PKB dibentuk pada tanggal 23 Juli 1998 di Ciganjur Jakarta atau tepatnya dirumah K.H Abdurrahman Wahid yang pada waktu itu masih menjabat sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Maka tidak mengherankan antara PKB dan NU tidak dapat dilepaskan begitu saja meskipun dengan berbagai cara atau strategi untuk memisahkannya dengan menyatakan bahwa NU adalah organisasi sosial keagamaan sedangkan PKB adalah organisasi politik yang terbuka untuk semua golongan. Namun pada hakikatnya banyak rekrutmen politik PKB yang mengandalkan pengaruh NU sebagai senjata utamanya.

      Jika berkaca pada prinsip-prinsip berpolitik yang telah dirumuskan oleh NU adalah sebagai berikut: (1) berpaham kebangsaan bukan golongan maupun keagamaan an sich hal ini disebabkan Indonesia bukan milik agama Islam saja, melainkan ada agama-agama lai yang telah tumbuh dan berkembang di tanah air yang harus dihormati dan dilindungi eksistensinya;(2) mengacu kepada kaidah fiqih yang berbunyi“tasaraful imam ala arru’iyah manutun bil maslahah” (kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus sesuai dengan kemanfaatan atas orang banyak).”Hal ini berhubungan dengan politik itu sendiri yang berarti bagaimana perebutan dan memepertahankan kekuasaan melalui sebuah kebijakn, maka hendaknya kebijakan yang telah dibuat harus sesuai dengan kemanfaatan rakyat bukan golongan;(3) ada trem dalam politik yang telah menjadi kesepakatan para aktor politik yaitu tidak ada kawan sejati yang ada adalah kepentingan sejati, maka NU sebagai lembaga sosial keagamaan telah merumuskan bahwa diperlukan adanya akhlaqul karimah dalam berpolitik. Hal ini bertujuan agar supaya diatas semua tindakan politik, kebaikan moral tetap menjadi prioritas utama.
 
          Maka diakhir tulisan ini hendaknya  penting bagi kita  menyimak  pesan almarhum K.H Sahal Mahfud, beliau pernah menyatakan bahwa  "NU itu bukan organisasi politik. Karena itu NU jangan bermain politik di politik tingkat bawah. Karena Itu bukan tempatnya NU. Kalau NU mau berpolitik, harusnya di politik tingkat atas,"politik tingkat bawah yaitu politik pada umumnya. Yaitu mencari kekuasaan dan saling dukung mendukung. Sedangkan politik tingkat atas yaitu politik kebangsaan, kerakyatan, dan etika politik”.
 
 
*Penulis:
- Alumni Rayon Hukum UNEJ Angkatan 2000
- Dosen HTN UNILA dan Pengurus LTNU Provinsi Lampung
 

0 komentar:

Posting Komentar