Selasa, 13 Januari 2015

Agama Vis a Vis Tradisi

Agama Vis a Vis Tradisi
Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya arab, bukan untuk “aku” jadi “ana”, “sampean” jadi “antum”, “sedulur” jadi “akhi”,. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya tapi bukan budaya arabnya.
(K.H Abdurrahman Wahid)

Dapat dikatakan bahwa seluruh agama samawi (agama langit) yang tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah agama impor. Jika Islam adalah agama impor dari Arab yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Gujarat, maka Kristen adalah agama impor dari Eropa yang dibawa oleh bangsa penjajah Belanda.

Dalam perkembangannya, agama-agama baru ini harus menghadapai tradisi-tradisi lokal yang telah ada di Indonesia dan bagaimana mengkomunikasikannya sehingga dapat berkembang hingga sekarang tanpa ada pertentangan di dalamnya. Islam sendiri tumbuh dan berkembang di Jawa dan Indonesia barat yang harus menghadapi tradisi-tradisi yang sudah ada, sehingga nampak dalam masjid-masjid di Pulau Jawa bukan beratab kubah bulat sebagaimana masjid di Timur Tengah, melainkan beratap genting dan bertingkat tiga yang menandakan syari’at, hakikat dan ma’rifat atau Islam, Iman dan Ikhsan.

Demikian juga kiranya yang terjadi dengan agama Kristen, misalnya terlihat dengan kemunculan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berpusat di tanah Batak,Gereja Kristen Pasundan (GKP) di tanah Pasundan dan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) di Jawa Timur. Bahkan beberapa gereja di Kediri dan Jawa Tengah menggunakan bahasa Jawa dalam kebaktian setiap minggunya.

Namun memasuki tahun baru 2015 masih banyak menyisahkan masalah dalam kehidupan beragam di masyarakat khususnya mengenai pertarungan antara sesuatu yang dianggap sakral melawan yang profan. Atau dalam bahasa Ahmad Fawaid Sjadzili sakral itu lebih diwakili oleh agama sedangkan tradisi kultural adalah profan dan bagian dari bid’ah. Tradisi lokal patut dibersihkan dan digantikan dengan ajaran-ajaran agama sebagaimana hadir dari sumber yang pertama (baca:Islam Puritan).

Negoisasi-negoisasi yang penuh dengan sifat toleran dan nyaris tanpa ketegangan ini akhirnya mengalami pengerasan dengan munculnya desakan pemurnian atau purifikasi yang hendak menghadirkan Islam otentik sebagaimana era Nabi Muhammad SAW. Perdebatan mengenai polemik seputar otentitas nilai-nilai agama yang melebur dengan tradisi lokal menjadi debat sengit yang tidak berkesudahan. Tidak saja di masa lampau, bahkan hingga memasuki melinium ke-2 ini. Tudingan kelompok tertentu meleburkan ajaran klenik, takhayul, bid’ah dan khurafat dengan ajaran agama masih saja terus terjadi dan bergulir khususnya dalam pengajian-pengajian yang diadakan di masjid-masjid kampus umum. Mereka seringkali memperdebatkan adanya sholawatan, tahlilan, manaqiban dan jiaroh kubur (STMJ) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam di era Nabi Muhammad SAW.

Mereka tidak sadar bahwa semenjak meninggalnya Nabi Muhammad SAW sudah tidak ada lagi yang dapat dijadikan satu-satunya sumber rujukan ketika terjadi permasalahan di masyarakat. Apalagi dengan perkembangan Islam yang semakin luas hingga menuju Asia Tengah dan Afrika di era Umar bin Khattab. Maka permasalahan umat Islam semakin beragam yang juga dipengaruhi letak geografis setiap daerah yang tentunya sangat berbeda dengan kondisi Arab yang tandus dan gersang. Maka munculnya imam madzab sebagai salah satu solusi pemecahan masalah-masalah yang muncul dimasyarakat menjadi tidak terelakkan. Realitas ini berakibat berbedanya pendapat antara imam madzab yang satu dengan yang lain ini dalam memberikan fatwanya.

Salah satunya adalah yang terjadi di Indonesia, dimana negara Indonesia adalah negara agraris dan maritim yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan budaya yang tentunya akan sangat berbeda dengan kondisi masyarakat di Arab.

Maka keberadaan Nahdlatul Ulama (baca: NU) yang didirikan oleh para ulama pada tanggal 31 Januari 1926 adalah  selain sebagai wadah perjuangan melawan penjajah Belanda juga sebagai pelindung budaya dengan cara alkulturasi bukan revolusi sebagaimana yang sering dikumandangkan oleh kelompok-kelompok puritan.

Inilah yang menurut K.H Hasyim Muzadi menjadi keunikan NU. Menurut Beliau, diantara keunikan NU dibandingkan corak ke-Islaman lain ditanah air adalah cara NU menyikapi adat. NU tidak menolak adat dan tardisi lokal sepanjang cocok dengan tradisi Islam. Diktum klasik yang begitu lekat dikalangan nahdliyin adalah merawat tradisi lama yang baik dan mengadaptasi tradisi baru yang lebih baik (al-muhafadzah alal qadimis sholih wal akhdu bil jadidil aslah).

Hal ini juga dikuatkan oleh pendapat yang disampaikan oleh K.H Ahmad Shiddiq yang mana menurut beliau, Islam tidak serta merta apriori menolak tradisi lama, juga tidak menentang apalagi menghapuskan sama sekali. Hal ini disebabkan jika Islam adalah ajaran yang kaku, tentunya Islam tidak dapat berkembang sampai seperti saat ini. Tentunya Islam akan menjadi agama yang kolot dan radikal karena segala sesuatu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam asli harus tertolak. Padahal dalam sejarahnya Islam yang disebarkan oleh Nabi Muhammad SAW juga dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal seperti sunnah makan kurma, potong kambing atau onta sebagai qurban, bahkan mencium hajar aswat itu juga merupakan tradisi turun temurun.

Penulis : Iwan Satriawan, SH, MH
Alumni PMII Rayon Hukum Angkatan 2000
Dosen UNILA & Pengurus LTNU Provinsi Lampung

0 komentar:

Posting Komentar